(Sumber : NU Online)
Nama Pondok Pesantren (PP) Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor tiba-tiba menjadi perbincangan banyak kalangan setelah dijadikan lokasi Muktamar Luar Biasa (MLB) Partai Kebangkitan Bangsa versi Gus Dur 30 April-1 Mei 2008 ini.

Baru didirikan pada tanggal 16 Juni 1998 diatas tanah 17 hektar oleh Al Syekh Habib Saggaf Bin Mahdi Bin Syekh Abu Bakar Bin Salim, kini pesantren tersebut sudah memiliki 12.000 santri dan santriwati diatas lokasi sudah seluas 187 hektar.

Proses perkembangan jumlah santri yang luar biasa ini salah satunya dikarenakan pesantren ini membebaskan seluruh pembiayaan pendidikan, pengobatan, makan dan minum serta sarana dan pra-sarana lainnya.

Nama Al-Ashriyyah Nurul Iman sendiri dinukil dari bahasa Arab, Al-Ashriyyah yang bermakna modern, yang tujuannya “menjadi pusat pembinaan pendidikan agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern. Nurul Iman berawal dari kosa kata bahasa Arab, Nuur yang bermakna cahaya, dan Al-Iman bermakna keimanan.

Habib Saggaf memiliki inisiatif mendirikan pesantren ini dilatarbelakangi oleh krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang mengakibatkan banyaknya para remaja yang putus sekolah serta tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Melihat kondisi seperti itu, ia memutuskan untuk pindah dari kawasan perumahan Bintaro Jaya ke desa Waru Jaya Parung Bogor yang penduduknya dibawah garis kemiskinan yang mayoritas penghasilan mereka hanya mengandalkan penjualan daun melinjo serta ikan air tawar.

Pada mulanya para santri menetap di asrama belakang rumah beliau, namun karena makin banyaknya santri yang berminat maka dibangunkan sebuah kobong (bangunan dari bambu) yang berukuran 4 X 5 meter di areal tanah yang awalnya sebuah hutan semak belukar dan rumput ilalang. Hari ke hari semakin banyak santri yang berminat hingga kobong tersebut tidak lagi mencukupi untuk di tempati.

Santri-santri yang berminat belajar di pondok pesantren tidak hanya dari daerah desa Waru Jaya saja, melainkan hingga daerah-daerah jauh di dataran bumi Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri.

Selain pendidikan formal, para santri juga memperoleh pelajaran tambahan yang bisa menjadi bekal dalam kehidupan mereka kelak setelah keluar dari pesantren. Beberapa jenis kursus yang disediakan adalah kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi bahan bangunan, peternakan ikan dan lain-lain.

Para santri-pun dituntut untuk mampu mampu salah satu diantara bahasa Arab, Inggris dan Mandarin. Disamping itu, pesantren ini juga memberikan pendidikan padat karya seperti cara membuat roti, tahu, tempe, kecap, sabun dan tata cara jahit-menjahit.


Bersama Abah (Habib Seggaf bin Mahdi BSA) – di Parung..
Pengasuh Ponpes Al-Ashriyah..